Medan Tahrir
kulihat gejolaknya umpama tsunami manusia
yang rakus merubah iklim tenang bersama emosi
bersatu dalam sesak-sesak nafas menghembus udara panas
walau tanpa senjata moden ia bisa mengugah waja bertahan
mungkin tidak dalam cepat masa terdekat
lambat laun akan cair menyungsung angin
begitulah lembutnya tsunami yang teriring gejolak rasa
harus ke mana mau bertahan setelah kepedihan dilontarkan
tanpa peduli marhaenis terhimpit yang cuma menghitung bintang
menanti cerahnya mentari hari demi hari yang tidak kesampaian
mereka adalah perbumi yang memenuhi setiap sudut dan ruang
yang mengangkat darjat dan kudrat bumi berdaulat
yang didalamnya terlahir manusia yang sujud dan tunduknya
bersama wirid syahdu setiap waktu
lalu saja mereka terlontar sendiri tanpa terpedulikan
yang hari demi harinya menadah janji yang tidak tertunaikan
atas rasa kemanusiaan yang masak dengan kesangsaraan
lalu mereka menyalakan dapur amarahnya
meniup api di Medan Tahrir
Abdullah Tahir